Awal tahun 60an, Elvis Preasley berhasil menggemparkan dunia musik.
Elvis sukses merubah paradigma bermusik di Amerika dengan musik rock ‘ rollnya (adaptasi musik blues dan jazz kulit hitam). Pada jaman itu juga, lorong-lorong bawah tanah stasiun kereta (subway) disulap menjadi panggung-panggung pertunjukan oleh para seniman-seniman di Paris, Perancis. (Ady Gembel, Underground Kita Berbeda, Apokalip Web Zine). Para seniman itu mencoba mendekatkan diri langsung dengan massa, menentang pola berkesenian elitis ala seniman mainstream. Bahkan puisi, teater, musik dan produk kesenian lainnya pada massa itu, sarat dengan nuansa kritis. Karena tempat pertunjukannya yang berada di bawah tanah, lahirlah istilah underground.
Perubahan di atas, harus dilihat selaras dengan fenomena sosial yang sedang terjadi. Tahun 50 sampai 60an, adalah masa pemulihan paska perang dunia II dan masa awal perang dingin. Krisis ekonomi menghinggapi hampir semua negara di dunia. Pengiritan sektor industri, menjadikan kelas-kelas pekerja makin jauh dari taraf kesejahteraan. Mendapatkan hiburan seperti opera dan pertunjukan musik klasik, adalah sebuah hal yang mustahil bagi kelas pekerja. Mau tak mau, mereka harus menciptakan alternatif-alternatif hiburannya sendiri. Fenomena underground di Paris, musik alternatif di Amerika (blues, jazz dan rock ‘n roll) serta skin head di Inggris, harus dilihat sebagai bentuk-bentuk alternatif dalam bermusik di jaman itu.
Massa Flower Generation
Selanjutnya dunia masuk dalam masa perang dingin. Pertarungan dua ideologi yang bertolak belakang, menyeret masyarakat dunia dalam perang dingin penuh intrik, persaingan dan konflik. Kejenuhan akan korelasi antara perang dingin dan kehidupan keseharian, melahirkan semangat Do It Yourself (DIY). Semangat DIY menjadi semboyan utama Flower Generation, sebutan buat generasi di pertengahan 60an sampai 70an.
Semangat DIY ini juga diadaptasi dalam dunia musik. Semangat untuk membuat gaya sendiri, label sendiri dan musik sendiri, benar-benar tumbuh di jaman itu. Wajar jika banyak musik-musik alternatif yang ada hari ini, lahir dan berkembang pada era 70an. Sebut saja beberapa genre besar seperti Punk, Rock ‘n Roll, rock, metal, ska, reggae dll.
Sex Pistols adalah salah satu band yang pantas disebut mewakili masa flower generation. Band Punk ini melahirkan lirik-lirik anti kemapanan, juga aksesori nyelenehnya yang kental nuansa kritik sosialnya. Seperti, penggunaan sepatu boot yang merupakan bentuk protes terhadap kekerasan militer dan perang. Lain lagi style rambut mowhawk, yang diadaptasi dari suku-suku Indian. Hal ini, guna menunjukan keberpihakan kepada kaum marjinal (Indian tersingkir, karena kedatangan imigran Eropa di Amerika). Begitu juga dengan aksesori rantai lengkap dengan gembok, yang dipopulerkan Sid Vicious (basis Sex Pistols). Sid mengkritik Kerajaan Inggris dan budaya feodalnya, yang dinilai mengekang kebebasan individu. Puncaknya adalah cover album Sex Pistols yang sangat legendaris, menampilkan sosok Ratu Elizabeth dengan tindikan peniti di hidungnya.
Bukan hanya itu, Woodstock (pagelaran musik) di Amerika pada tahun 1969 mengambil tema ‘make peace not war’. Tema ini adalah bentuk protes terhadap perang Vietnam. Atau lirik fenomenal dari Bob Marley, yang berseru ‘Emancipate your self, from mental slavery’. Inilah deretan bentuk perlawanan flower generation. Bukan hanya sekedar menyuguhkan musik alternatif, tapi juga sarat akan muatan sosial. Selain itu masih banyak band lain, yang kelak menjadi influence band-band di masa setelahnya. Sebut saja Rolling Stones, The Clash, The Ramones, Deep Purple, Led Zeppelin, Black Sabath dll.
1 komentar:
QUANTUM BINARY SIGNALS
Professional trading signals delivered to your mobile phone every day.
Follow our trades right now & profit up to 270% a day.
Posting Komentar